^^

^^

Ternyata 'Dia' Orang yang Baik


Malam itu angin semilir menusuk persendianku. Walaupun telah dibalut jilbab dan jaket, tetap tak dapat menghalangi angin malam yang terus kulawan sepanjang perjalananku mengendarai motor. Tempat yang kutuju cukup jauh dari rumahku, yaitu sebuah rumah sakit yang cukup terkenal, disanalah kakakku sedang menungguku untuk menjemputnya.

Sesampainya disana, aku tak mendapati kakakku. Aku menunggu cukup lama hampir setengah jam. Namun kakakku itu tak kunjung muncul. Langit gelap, tempat itu remang-remang. Tetapi kendaraan cukup ramai berlalu lalang dihadapanku.

Kulihat dari jauh, seorang wanita memakai gamis dan jilbabnya sedang melambai tangan padaku diseberang jalan. Ternyata dia kakakku dan yang sedang dia gendong adalah keponakanku.

Kakakku langsung menyeberang jalan dan menghampiriku.

“Maaf ya dek, lama nunggu. Kakak naik angkot tapi turunnya kejauhan, jadi jalan kesini.”
Kakakku itu tersenyum melihatku.

“Kakak tadi bertemu dengan seseorang ketika kakak sedang berjalan menuju kesini, sepertinya dia PSK, dek.”

kata-kata kakakku mengagetkanku.

“Hah, darimana kakak tahu bahwa dia PSK?”

"Dari cara dia berdandan dan pakaiannya yang minim."

Aku kurang percaya dengan apa yang dikatakan oleh kakakku. Karena aku belum pernah melihat seorang PSK secara langsung yang konon katanya suka menunggu pelanggan dipinggir jalan. Aku hanya melihatnya di TV atau mendengar dari cerita teman-temanku.

“Jangan terkejut dulu, orangnya baik kok, malah dia yang ngasih tahu bahwa kamu nunggu kakak disini.”

“Kok bisa?”

Aku semakin tidak percaya.

“Dia dari tadi ngeliatin kamu, dek.”

Kakakku melanjutkan ceritanya sepanjang perjalanan kami kembali kerumah. Ditemani semilir tiupan angin malam, suara kakakku samar-samar kudengar.

“Kakak menaksir umurnya sekitar 16 tahun. Dia masih sangat muda. Dia tadi ramah sekali dengan kakak, malah tadi menanyakan kakak darimana dan mau kemana.”

Aku tak menimpali. Lalu, kakakku melanjutkan,
“Kakak bilang bahwa kakak salah turun angkot. Terus, kakak juga bilang pasti Adek lama nunggu, dia langsung menunjuk kamu, dek. Dia bilang kamu udah dari tadi nunggu depan rumah sakit itu.”

“Hmm.. orang yang ramah.
Memang orang seperti itu kebanyakan berhati lembut dan sangat peka terhadap sekitar.”

Aku masih terdiam. Tak tahu apa yang harus aku respon dari cerita kakakku. Tapi aku dapat menyimpulkan satu hal.

Aku sungguh beruntung, menikmati masa remajaku dengan aman ditengah-tengah keluarga yang begitu menyayangiku. Sedangkan dia harus mengorbankan masa remajanya yang seharusnya bisa dia nikmati. Namun mungkin ada “alasan” tertentu yang mengharuskannya melakukan “pekerjaan” itu.

Aku tak tahu bagaimana wajahnya, juga seperti apa sosoknya. Namun yang aku tahu dia pasti orang yang baik.

Baiklah, untukmu ‘dia’..
Siapapun kau..

Aku berdoa, semoga Allah memberimu kehidupan yang lebih baik, melembutkan lagi hatimu yang lembut, dan membuka tabir hitam yang mungkin sedang menutupi jiwamu..
Percayalah, kebaikan akan datang kepada orang-orang yang baik.

Satu kata..
Hidayah,

semoga ia datang menyapamu..

Aamiin..

Segores Penatku



Untuk Dakwah ilmiy yang kucinta..
Dalam hatiku yang terdalam aku mengucapkan beribu kata maaf, karena sebagai jundi aku belum bisa menjadikan tujuan darimu atas pencapaianku.

IP(Indeks Prestasi), sebuah pembuktian dari kecerdasan seorang mahasiswa inilah penyebab kegelisahanku. Nyaris 3. Ya, lumayan ternyata bagi sebagian orang, tapi bukan hal itu yang ingin kubahas kali ini.

Tapi mengharumkan namamu, mungkin itu yang menjadi tujuanku. Agar mata-mata diluar sana dapat melihat bahwa seorang pengemban amanah dakwah itu juga seorang yang cerdas dalam akademiknya. Agar pikiran khalayak juga paham bahwa dakwah bukanlah penghalang untuk meraih prestasi akademik.

“Ukh.. ana sedih.”

Kala itu saudari seperjuanganku memulai berbicara tentang apa yang dirasakannya.

“Ana tidak tahu apa sebenarnya keahlian yang ana punya. Kalau anti, jelas, anti bisa menulis dan ingin menjadi seorang penulis. Lah, Sedangkan ana.. mungkin memang ana tidak punya keahlian apa-apa.”

Aku memberhentikan kegiatan yang sedang aku lakoni (Red: menyeruput minuman) lalu memilih kata-kata yang tepat.

“Ukh, nasib kita sama. IP kita terlalu standar untuk dikatakan mahasiswa berprestasi. Mimpi pun sebagian besar belum tercapai, biarlah hasil kita yang kecil dan hampir tak tampak ini kita syukuri, mungkin Allah menginginkan ikhtiar dua kali lebih maksimal dari yang kita lakukan sekarang.”

Sulit mengatakannya. Namun tampaknya saudariku itu menerimanya. Dia tersenyum masygul.

“Aku tak suka bercerita pada orang lain yang sama sekali tak dapat merubah apa yang aku dapat. Mereka berkata bahwa aku ini tidak punya perasaan, karena terlihat biasa saja menerima hasil nilai yang sungguh kecil… Andai mereka tahu, ketika mereka pulang, airmata ini tak bisa lagi kubendung, mengalir deras tanpa bisa kutahan lagi.”

Aku terdiam. Memang jika dibandingkan dengan saudariku itu, aku jauh lebih beruntung.

“Ukh, ana punya nasihat yang bagus, ada yang berkata seperti ini, jika hasil yang sedikit itu kita capai dengan kejujuran, itu jauh lebih memuaskan karena insyaAllah berkah, ukh.”

“InsyaAllah, semoga kita termasuk kedalam yang putih itu, ukh.”

Aku mengangguk. Kulihat airmukanya tak lagi mendung. Dia tersenyum. Alhamdulillah.

Sekarang, Aku putuskan untuk mengubah orientasiku. Bukanlah nilai semata, tetapi ilmu yang bermanfaat. Jikalau kita memilih nilai sebagai tujuan dari kita berlajar, maka siap-siaplah untuk kecewa. Namun jika kita menginginkan ilmu yang bermanfaat, insyaAllah tidak akan kecewa. karena sejatinya, jika kita mengaku beriman, maka hendaklah kita mengejar ilmu bukanlah nilai. Biarlah angka- angka yang baik itu datang menghampiri kita seiring kebaikan kita yang kita lakukan sepanjang kita mengejar ilmu itu.

Dan yang terakhir, aku tidak akan berdoa seperti ini lagi,
“ya Allah sampaikanlah aku pada apa yang aku inginkan.”

Namun aku harus mangubah doaku menjadi,
“ya Allah, perlapang dadaku untuk menerima apapun hasil yang Kau beri atas ikhtiarku, Aamiin.”

***

Special for : Ukhti Sifa ^^
“Keep Hamasah, ukh” 

Mimpi itu..


Aku tidak tahu harus menulis apa saat ini. Perasaanku campur aduk. Perasaan gelisah, kecewa, bingung, dan segelintir perasaan lainnya yang meresahkanku.

Aku tidak tahu bagimana aku harus bersikap. Aku lelah. Lelah menapaki mimpi yang tak kunjung teralisasi.
Kapan aku bisa seperti aku yang kuinginkan. Kapan aku bisa menjadi Aisyah yang kuidolakan. Kapan juga aku bisa mencapai target yang kupajang dikamar. Kapan aku bisa menjadi lebih baik.

Ketika mimpi itu terasa begitu jauh untuk kugapai, hanya ada airmata kekecewaan yang kutahan dibalik senyuman yang kutampakkan di depan mereka. 
Ya, didepan mereka, orang-orang dalam hidupku yang selalu mendukungku untuk menggapai mimpi itu.

Aku ingin membuat gebrakan yang besar ! tapi sekali lagi, sulit.

Husst..
Bukankah Allah itu mengikuti prasangka hambaNya. Dan ingatkan kata-kata “You are what you think”, kamu adalah apa yang kamu pikirkan
Lagi-lagi sudut hatiku mengingatkan.

Iya, aku tahu. Aku Cuma butuh istiqamah. Karena bukan masalah dapat mencapai atau tidak, tapi bagaimana tetap bertahan dalam keyakinan.

Rumus kesuksesan itu “Kegagalan ditambah satu”. Rumus ini sangat lucu bagiku. Kita tak akan pernah tau berapa kali kita harus gagal dan ditambah satu kali usaha setiap kegagalan itu. Bisa saja kegagalan yang ke-10, ke-50, ke-100, bahkan ke-1000. Karena yang kita tahu setiap kegagalan haruslah dtambah lagi satu usaha menuju kesuksesan itu.

Namun, rumus ini mengajarkan kita untuk optimis, sukses itu sudah ada didepan mata, tapi yang menentukan adalah usaha kita dan seberapa gigih kita untuk terus berusaha dan tidak putus asa ketika kegagalan bertubi-tubi menyapa kita.

Itu yang aku rasakan, beberapa kali gagal. Aku takkan pernah tau berapa kali aku harus gagal terlebih dahulu untuk menjemput sukses itu.

Aku hanya ingin berdoa agar aku dikaruniai keistiqamahan selama proses menuju hasil tersebut. Agar berbuah hasil yang selama ini kudambakan.

Aku ingin Allah mendengarku, mengiistijabah doaku, memberikanku kekuatan, meyakinkanku semua hal itu mungkin jika Allah telah berkehendak.

Aku percaya padaMu ya Allah..

Aksi Pertamaku


“zrrrtrtrtrtr”, 
hapeku bergetar.Kulihat ada sebuah pesan masuk dari seorang mbak yang kukenal di salah satu organisasi kampusku.

Wahai jiwa yang resah karena kemacetan, bangkit teriakan suaramu, kita sama-sama teriakan aspirasi rakyat sumsel, yang dari Palembang kumpul di depan gedung DPRD.. bla..bla..bla..”

Hmm..
Ternyata ajakan untuk aksi.” Gumam batinku.

Belum satu menit sms itu masuk ke hapeku, namun lamunanku sudah melayang jauh. Bagaimana kalo panas, terus nanti mukaku jerawatan kena debu, terus kalo pak polisi nya marah gimana, dan masih banyak hal-hal tidak penting lainnya yang berdesakan menunggu giliran untuk kupikirkan.

“Nia, kamu ikut aksi kan?”, kakakku bertanya dari dalam kamarnya.

“Entahlah, aku mau tes toefl.”

“Cuma sebentar kok, cuma orasi di depan Gedung DPRD, terus langsung balik.”

“Bukannya kalo aksi itu ada jalan-jalannya, capeek.”

“Hmm, jadi akhwat tuh jangan manja.”

Telingaku saat itu langsung alergi dengan kata “Manja”. Karena dari dahuluuu sekali, aku sudah akrab dengan sebutan si manja. Ya, Aku anak bungsu.

“Oke. Liat nanti ya, kalo aku niat kesana, aku ikut.”. 
Sebenarnya jawaban ini jawaban menolak dengan cara halus, tapi kakakku kala itu menerima dengan senang jawabanku ini, karena mengandung sebuah harapan aku akan pergi kesana.
Agak berat kulangkahkan kakiku kesana. Aku takut. Karena baru kali ini aku ikut sebuah kegiatan bernama aksi.

Aku mengendarai sepeda motorku bersama kakakku yang kubonceng di belakang.

Sesampainya disana, aku melihat banyak teman-temanku yang kukenal di organisasi kampusku. Sebuah gerombolan mahasiswa yang lumayan ramai berkumpul di depan gedung DPRD. Teman-temanku itu tersenyum. Lalu mereka memberikan aku sebuah ikat kepala bertuliskan “GEMPUR” yang artinya Gerakan Mahasiswa Peduli Rakyat. Lalu kuikatkan di kepalaku seraya memakai almamater kesayanganku. Aku berbaris di bagian tengah, lalu kulihat kumpulan wartawan itu mendekat kearah kami. Aku takut disorot,

Pliiiss.. jangan menghadapkan kamera ke arahku.”

Ada tisu yang menyelamatkanku. Sebaiknya memang wajahku ini ditutup, selain takut kena matahari dan debu, aku juga takut wajahku ini terpampang di media, Apa kata dunia?

Sesaat setelah itu, Presma beserta wakilnya, Ketua DPMU, dan perwakilan dari kampus lain di sumsel bergantian berorasi. Pada saat itu aku merasa mengerti mengapa kami (mahasiswa) harus melakukan aksi seperti ini. karena kami tidak bisa tinggal diam. Karena akibat dari kemacetan terjadi bukan hanya dialami oleh mahasiswa namun seluruh warga Sumsel. Sudah saatnya memikirkan masalah-masalah bersama, jangan hanya terkungkung dalam kepentingan pribadi.

Berhenti jadi akhwat manja yang bisanya cuma “mendep” dirumah. Sekali-kali kita harus merasakan bagaimana turun ke jalan, apa kita hanya ingin menjadi penonton atas kemenangan teman-teman kita yang bergerak melakukan perubahan. Setidaknya itu yang dapat kusimpulkan dari beberapa orasi orang-orang didepan itu.

Aku merasakan sebuah perasaan aneh yang menyusup dalam dadaku. Seperti sebuah rasa bangga ketika atas nama mahasiswa kami bisa menyuarakan keresahan yang selama ini kami alami. Aku melihat sekelilingku begitu bersemangat, teriakan “Hidup Mahasiswa” membahana di area gedung DPRD. Seakan-akan aku hanyut dalam suasana itu.

Ternyata sudah bukan saatnya lagi jika ditanya,
“Mengapa ga ikut aksi ukh?”

“Afwan ana ga boleh ortu, ana takut kalo anarkis, bla bla bla..”

Aksi merupakan langkah konkret awal kita menuju perubahan.

Saya bahagia menjadi yang terpilih ikut aksi tadi, beneran ga boong. Ga selalu yang namanya aksi selalu anarkis, buktinya tadi damai-damai aja.”(saya)

Dan momen indah setelah itu adalah kebersamaan yang semakin rekat terbingkai.
 
:)

Ibu, Sebuah Perenungan

Ibu..
Ketika nuraniku terjatuh,
Yang membangkitkanku adalah kata-katamu..
Ketika jiwaku terpuruk,
Yang menyemangatiku adalah wajahmu..
Ketika pikiranku berkabut, yang menjernihkanku adalah suaramu..

Ibu..
Wajah sayumu mengisi kekosongan hatiku..
Tingkah ayumu menghibur kegersangan hariku..

Andai sosokmu tak pernah ada..
Andai hadirmu tak pernah nyata..
Seorang anak yang mulia bisa jadi anak yang hina..

Ibu..
Pabila cahaya rembulan dan bintang menyatu,
Takkan pernah menyamai terangnya hatimu..
Jikalau seluruh jagad raya diukur,
Takkan bisa menyamai besarnya kasihmu..

Sumpahku berbakti padamu,
Takkan pernah bisa membayar jasa-jasamu..
Entah dengan parameter apa..
Yang kutahu didalam hatiku telah tertanam sebuah nama..
Nama yang sungguh menyejukkanku,
Nama itu..
Namamu.. 
Ibu…

*** 
Ibu, 
bukti nyata kasih sayang Allah untuk kita..
Sosok yang tak pernah jemu menyayangi dan melayani kita.

Pernahkah kita mendoakan ibu didalam sujud panjang shalat kita disepertiga malam terakhir ?
Jika jawabannya iya. Anda sungguh beruntung.
Jika jawabannya tidak, mari kita renungi,
ibu kita yang keringatnya adalah kebahagiaan kita, rela bangun dimalam hari yang dingin, tak peduli betapa ia lelah karena pekerjaan rumah yang harus diselesaikan disiang hari, namun dia memilih bangun dari tidur lelapnya untuk menghadap Allah dengan penuh pengharapan, dengan sebait doa yang selalu dia minta pada-Nya, doa yang ditujukan untuk siapa ? untuk kita.
Karena tujuannya hanya satu, karena keinginannya hanya satu, yaitu kebahagiaan kita.

Pernahkah kita melakukan sesuatu dengan tujuan agar ibu kita bahagia ?
Jika jawabannya iya. Anda sungguh beruntung.
Jika jawabannya tidak, mari kita renungi,
sosok yang paling tahu apa yang kita rasakan setelah diri kita sendiri adalah ibu kita. Prinsip seorang ibu adalah, ketika anaknya bahagia, disitulah letak bahagianya juga. Sungguh mulia hati seorang ibu, dia mengerahkan seluruh kemampuannya hanya untuk membahagikan kita, anaknya. Walau dengan hal sepele menurut kita, ibu rela beberapa kali terkena api kompor yang panas, tersayat mata pisau yang tajam, terciprat minyak goreng yang panas, hanya demi memasak makanan yang lezat untuk kita, walau sebenarnya ibu tak menyukai makanan itu sendiri, namun tak dipedulikannya selama itu dapat membuat kita senang, nyaman, bahagia.
Ah.. memangnya sejak kapan ibu memikirkan perasaannya dan kesukaannya..
Karena tujuannya hanya satu, karena keinginannya hanya satu, yaitu kebahagiaan kita.

Pernahkah kita gelisah setengah mati ketika ibu kita terbaring sakit ?
Jika jawabannya iya. Anda sungguh beruntung.
Jika jawabannya tidak, Mari kita renungi,
Ibu mempunyai sisi hati yang dapat menembus hati kita. Karena ibu merasa kita adalah belahan jiwanya, ketika kita sakit, ibu akan ikut sakit, bahkan terkadang merasa lebih sakit dari kita. Ada dua beban yang dialami hati ibu ketika kita terbaring sakit, kegelisahan serta kekhawatiran yang berlebihan pada kondisi kita, ibu terkadang lupa kebutuhannya seperti makan dan mandi ketika mengurusi kita yang sedang sakit, karena didalam pikirannya hanya ada satu hal, yaitu kesembuhan kita, anaknya. Beban hati ibu yang lain adalah pura-pura tegar didepan kita yang sedang terbaring sakit, ketika itu, ibu ingin sekali meluapkan kesedihannya karena melihat buah hatinya yang sedang sakit, namun dia simpan rapat kesedihan serta airmatanya, dia menunggu saat-saat sunyinya malam untuk mengadu pada Allah, mengadukan apa yang dirasakannya, juga tak lupa mendoakan kesembuhan kita.
Karena tujuannya hanya satu, karena keinginannya hanya satu, yaitu kebahagiaan kita.

Teman, Jika kita seorang anak yang cuek terhadap ibu kita, maka ubahlah sikap kita. 
Walau sebenarnya ibu kita menerima saja apapun sikap kita, 
namun jangan tunggu sampai semuanya terlambat. 
Jangan tunggu sampai kita tak mendengar lagi panggilan sayangnya untuk kita.
Jangan tunggu sampai kita tak mencicipi lagi masakan-masakannya.
Jangan tunggu sampai kita tak melihat senyumannya diawal pagi kita.
Jangan tunggu sampai tak ada lagi yang mengerti perasaan kita.
Jangan tunggu sampai sosok itu pergi dalam hidup kita.
Jangan tunggu malaikat izrail datang mengambil nyawa ibu kita.
Jangan tunggu semua itu !

Berubahlah..
Mulailah dengan ungkapan sayang ataupun permintaan maaf atas kecuekan kita selama ini.

“Ibu, maafin kesalahan ananda selama ini, ananda sayang ibu..”

Dengan mengungkapkan kalimat itu di telinga ibu kita, takkan merendahkan derajat kita, malah akan membuat ibu kita merasa berarti dan bangga mempunyai kita, serta Allah akan meridhoi setiap langkah kita, insyaAllah ..
aamiiin.
Ayo, tunggu apa lagi..

“ Ucapkanlahlah kalimat itu pada ibu kita sehari 3 kali, atau sehari satu kali, atau sekali seminggu, atau sekali sebulan, atau sekali setahun, atau bahkan sekali seumur hidup, 
Ucapkanlah.. sebelum kalimat itu tak bisa diucapkan lagi, karena takdir Allah yang mendahului .”

Dari sahabat abu hurairah radiyalhu ‘anhu beliau berkata : Datang seorang pria laki-laki kepada rasulullah kemudian dia bertanya : Wahai rasulullah, siapakah yang paling berhak untuk kuperlakukan dengan baik?” Beliau bersabda, “Ibumu”, Orang tersebut bertanya lagi,”kemudian siapa?”. Beliau bersabda,”Ibumu”. Orang tersebut bertanya lagi,”kemudian siapa?”. Beliau bersabda,”Ibumu”. Orang tersebut bertanya lagi,”kemudian siapa?”. Beliau bersabda,”Bapakmu” (HR. Bukhari dan Muslim)

Rasulullah shalallahu’alaihi wa sallam bersabda,”orangtua adalah pintu surga yang paling tengah, apabila kau mau maka sia-siakanlah pintu tersebut atau peliharalah. (HR, Tirmidzi).

^Karena Aku seorang Muslimah^

Karena Aku seorang Muslimah, aku takkan mempermalukan diriku sendiri dihadapan orang-orang. Aku akan menjaga tingkah laku-ku agar tak menjatuhkan izzah-ku.

Karena Aku seorang Muslimah, aku hanya bisa diam ketika teman-temanku menanyakan pendapatku tentang seseorang yang sedang mereka bicarakan. Aku takut jikalau sampai kata-kata yang keluar dari mulutku merupakan gunjingan untuknya, termasuk ghibah. Biarlah teman-temanku tak suka mengajakku untuk ngobrol bersama mereka membicarakan teman-teman yang lain, aku bersyukur karena dengan itu bisa menjaga lisanku dari perkataan-perkataan yang sia-sia.

Karena Aku seorang Muslimah, aku hanya bisa tersenyum menahan tawa ketika adikku menceritakan hal-hal yang lucu padaku, aku hanya ingin mengikuti sunnah rasulullah saw yang intinya tersenyumlah ketika tertawa. Aku hanya ingin menjalankannya. Walau, pada akhirnya adikku berkata, “Kak, ceritaku ga lucu ya?”, aku hanya bisa tersenyum sekali lagi, seraya mencubit pipi adikku, aku berjanji akan menjelaskan perlahan-lahan pada adikku. Aku hanya ingin menjalankan sunnah rasulullah saw semampuku.

Karena Aku seorang Muslimah, aku hanya bisa terus menunduk ketika melintasi segerombolan anak laki-laki, biarlah mereka mengolok-olokku, aku hanya tidak ingin syetan bermain peran ketika tak sengaja aku melihat mereka atau mereka yang melihatku.

Karena Aku seorang Muslimah, aku hanya bisa menghindar ketika tak sengaja aku berjalan didepan yang bukan mahramku, aku lebih memilih memutar haluan berjalan lebih jauh jaraknya daripada berjalan didepan yang bukan mahramku. Seperti kata sahabat Nabi saw, “Aku lebih memilih berjalan didepan harimau daripada berjalan dibelakang seorang wanita.”, begitu pula bagiku, aku tak mau menjadi ancaman yang lebih besar dari seekor harimau itu untuknya, biarlah jarak yang jauh lebih aku senangi, daripada membawa kemudaratan baginya.

Karena Aku seorang Muslimah, aku harus benar-benar menjaga cara bicaraku, menyesuaikannya ketika berbicara dengan mahramku juga ketika bicara dengan yang bukan mahramku, aku harus mengatur nada suaraku agar tidak menjadi fitnah bagi mereka. Biarlah, aku lebih senang ketika para laki-laki tidak suka bahkan membenci gaya bicaraku, bagiku itu anugrah. Daripada sebaliknya, jika mereka suka dengan gaya bicaraku, bagiku itu musibah.

Karena Aku seorang Muslimah, aku harus menjaga pandanganku juga pandangan orang-orang terhadapku. Sebisa mungkin apa yang kupakai tidak mencolok ataupun menarik perhatian orang-orang disekitarku berada. Aku lebih senang memakai warna-warna yang lembut, agar tidak mudah ditangkap oleh mata. Semata-mata karena aku ingin menjaga hatiku juga hati orang-orang disekitarku.

Karena Aku seorang Muslimah, aku harus ikhlas menjalankan semua perintah-Nya, seperti menjaga hubungan baik dengan keluarga dan tetangga sekitar serta berbakti pada orang tua.

Karena Aku seorang Muslimah, aku harus belajar ikhlas menerima ketetapan Allah yang telah terjadi atasku, maupun yang belum terjadi atasku.

Karena Aku seorang Muslimah, aku pun harus ikhlas ketika ada seseorang yang datang melamarku, yang aku tahu dia adalah teman SMA-ku dulu, sayangnya, kedua orangtuaku tak menyetujui jika aku sampai bersedia menikah dengannya. Kurasa tak ada yang salah dengannya, dia seseorang yang mengerti tentang tujuan hidup, serta sosok imam yang baik menurutku, tapi bagi keluargaku dia cacat, hanya karena kaki kirinya yang pincang, dan hanya karena itu pula keluargaku tidak setuju.

Dan yang terakhir,
Karena Aku seorang Muslimah, aku harus berani mengambil sikap selama itu baik untukku dan untuk agamaku, tentu akan aku lakukan. Dan saat itu hati kedua orangtuaku luluh, tepat pada saat mereka mendengar jawaban atas pertanyaan yang mereka lontarkan padaku,

“Nak, mengapa kau bersikeras menikah dengannya, dia cacat, apa yang membuatmu begitu yakin menikah dengannya?”

Aku menjawab,

“Karena Aku seorang Muslimah,, Aku tak perlu suami dengan dua kaki yang sempurna untuk menuntunku menuju surga-Nya….”

Alhamdulillah, Mata kedua orangtuaku berkaca-kaca mendengarnya. 

Semua berkat doa dan keyakinan.
Ya, Karena Aku seorang Muslimah.

***

“Bisakah kita seperti ini ?” :)

Entah apa yang saya pikirkan sehingga sosok muslimah seperti ini terlintas dan menjadi inspirasi bagi saya.
tetapi, semoga bisa menjadi inspirasi juga bagi kalian.
semoga bermanfaat.



^DALAM UKHUWAH KITA BERCINTA^

Karena beda antara kau dan aku sering jadi sengketa
karena kehormatan diri sering kita tinggikan diatas kebenaran
Karena satu kesalahanmu padaku seolah menghapus
Sejuta kebaikan yang lalu

Wasiat sang Nabi itu rasanya berat sekali:

“Jadilah hamba-hamba Allah yang bersaudara”…

***

Dalam ukhuwah, kita dituntut untuk menjadi pribadi yang mengasihi sesama, menebar benih kasih sayang persaudaraan, seperti kata Mu’awiyah Ibn Abi Sufyan,

“ Meski yang menghubungkanku dengan seseorang hanyalah selembar benang, akan kujaga.
Jika dia ulurkan, akan aku kencangkan,

Jika dia kencangkan, akan kukendurkan.”
Ya, begitulah ukhuwah, sebuah ikhtiar yang didasari dalam diri kita sendiri. Menginsyafi bahwa iman seharusnya berbanding lurus dengan kualitas hubungan yang kita jalin dengan sesama. 

Juga mengetahui bahwa setiap hubungan yang tidak didasari dengan iman akan jadi sia-sia. Dan baik iman maupun ukhuwah, memerlukan upaya untuk meneguhkan dan menyuburkannya.
Ukhuwah bukanlah sekedar persaudaraan atas ikatan darah, ia bahkan lebih dari itu. Persaudaraan yang berdiri diatas dasar aqidah, atas dasar iman, sebab kita mengambil cinta untuk memupuknya bukan dari bumi yang sesak dan sempit, tetapi racikan cintanya dari bentangan langit nan tak terbatas.

Lalu timbul pertanyaan, bagaimanakah caranya menghubungkan diri kita yang tertatih di bumi dengan langit yang begitu tinggi? 

Bagaimanakah menghubungkan jiwa kita yang lemah dengan kekuatan yang seolah tak terjangkau? 

Allah, penguasa langit dan bumi menjawabnya dalam sebuah hadits Qudsi.

“Tiadalah hambaKu, “ Begitu Dia berfirman, “Mendekatkan dirinya padaKu dengan sesuatu yang lebih Aku sukai, daripada saat dia jalani apa-apa yang Aku wajibkan untuknya. 
Dan hambaku itu tidak puas hanya dengan menjalankan yang wajib saja. Maka dia terus mendekat kepadaKu dengan hal-hal yang Aku sunnahkan, sampai Aku mencintainya.”

“Maka jika Aku telah mencintainya,” lanjutNya, “Aku akan menjadi pendengaran yang dia gunakan untuk menyimak. 
Aku akan menjadi penglihatan yang dia gunakan untuk menyaksikan. Aku akan menjadi tangan serta kakinya yang dia gunakan untuk bertindak dan bergerak. Jika dia memohon padaKu, Aku akan menjawab pintanya. Jika dia minta perlindungan, maka Aku pasti melindunginya.”

Benar, dalam ukhuwah, alangkah rindunya kita mencintai saudara-saudara kita dengan cinta Allah. 

Alangkah inginnya kita memperlakukan mereka dengan perlakuan Allah, 
Alangkah harapnya kita bisa bergaul pada mereka dengan tatapan rahmat-Nya. 
Kita ingin mendengar mereka dengan telinga istijabahNya. 
Kita ingin menggandeng mereka dengan tangan hidayahNya. 
Kita ingin menjajari langkah mereka dengan tapak ridhaNya.

Disitulah mahabbah. Disitulah cinta langit yang kita peluk, lalu kita semaikan kembali di bumi.

Selain Rahmat dariNya, ada satu sikap yang wajib kita aplikasikan, sebuah sikap yang akan berbuah manis jika kita melakukannya dengan ikhlas, 
yaitu menghargai seseorang dengan berbaik sangka padanya.

Renungkan kisah dibawah ini, sebuah perwujudan baik sangka yang menggugah. Sebuah pemikiran terpuji yang dipilih oleh orang-orang yang berhati bersih nan suci.

***

Seorang kawan bertanya dengan nada mengeluh.

“Dimana keadilan Allah?”, ujarnya. “Telah lama aku memohon dan meminta padaNya satu hal saja. Kuiringi semua itu dengan segala ketaatan padaNya. Kujauhi segala laranganNya. Kutegakkan yang wajib. Kutekuni yang sunnah. Kutebarkan shadaqah. Aku berdiri di waktu malam. Aku bersujud di kala Dhuha. Aku baca kalamNya. Aku upayakan sepenuh kemampuan mengikut jejak RasulNya. Tapi hingga kini Allah belum mewujudkan harapanku itu. Sama sekali.”

Saya menatapnya iba. Lalu tertunduk sedih.

“Padahal, lanjutnya sambil kini berkaca-kaca, “Ada teman lain yang aku tahu ibadahnya berantakan. Wajibnya tak utuh. Sunnahnya tak tersentuh. Akhlaknya kacau. Otaknya kotor. Bicaranya bocor. Tapi begitu dia berkata bahwa dia menginginkan sesuatu, hari berikutnya segalanya telah tersaji. Semua yang dia minta didapatkannya. Dimana keadilan Allah?”

Rasanya saya punya banyak kata-kata untuk menghakiminya. Saya bisa saja mengatakan, “Kamu sombong. Kamu bangga diri dengan ibadahmu. Kamu menganggap hina orang lain. Kamu tertipu oleh kebaikanmu sebagaimana Iblis telah terlena! Jangan heran kalau doamu tidak diijabah. Kesombonganmu telah menghapus segala kebaikan. Nilai dirimu hanya anai-anai beterbangan. Mungkin kawan yang kau rendahkan jauh lebih tinggi kedudukannya disisi Allah karena dia merahasiakan amal shalihnya!”

Saya bisa mengatakan itu semua. Atau banyak kalimat kebenaran lainnya.

Tapi saya sadar. Ini ujian dalam ukhuwah. Maka saya memilih sudut pandang lain yang saya harap lebih bermakna baginya daripada sekedar terinsyafkan tapi sekaligus terluka. Saya khawatir, luka akan bertahan jauh lebih lama daripada kesadarannya.

Maka saya katakana padanya, “Pernahkah kau didatangi oleh pengamen?”

“Maksudmu?”

“Ya, Pengamen,” lanjut saya seiring senyum. “Pernah?”

“Iya. Pernah.” Wajahnya serius. Matanya menatap saya lekat-lekat.

“Bayangkan jika pengamennya adalah seorang yang berpenampilan seram, bertato, bertindik, dan wajahnya garang mengerikan. Nyanyiannya lebih mirip teriakan memekakkan telinga. Suaranya kacau, balau, sengau, parau, sumbang, dan cemprang. Lagunya malah menyakitkan ulu hati, sama sekali tak dapat dinikmati. Apa yang akan kau lakukan?”

“Segera kuberi uang,” jawabnya, “Agar segera berhenti menyanyi dan cepat-cepat pergi.”

“Lalu bagaimana jika pengamen itu bersuara emas, mirip sempurna dengan Ebiet G Ade. Ade atau Sam Bimbo yang kau suka, menyanyi dengan sopan dan penampilannya rapi lagi wangi, apa yang kau lakukan?”

“Kudengarkan, kunikmati hingga akhir lagu,” dia menjawab sambil memejamkan mata, mungkin membayangkan kemerduan yang dicanduinya itu. “lalu kuminta dia menyanyikan lagu yang lain lagi. Tambah lagi. Dan lagi.”

Saya tertawa. Dia tertawa.

“Kau mengerti kan?” Tanya saya. “Bisa saja Allah juga berlaku begitu pada kita, para hambaNya. Jika ada manusia yang fasik, keji, munkar, banyak dosa, dan dibenciNya berdoa memohon padaNya, mungkin akan Dia firmankan pada Malaikat: “Cepat berikan apa yang dia minta. Aku muak mendengar ocehannya. Aku benci menyimak suaranya. Aku risi mendengar pintanya.”

“Tapi,” saya melanjutkan sambil memastikan dia mencerna setiap kata, “Bila yang menadahkan tangan adalah hamba yang dicintaiNya, yang giat beribadah, yang rajin bersedekah, yang menyempurnakan wajib dan menegakkan sunnah; 
maka mungkin saja Allah akan berfirman pada malaikatNya: 
“Tunggu! Tunda dulu apa yang menjadi hajatnya. Sungguh Aku bahagia bila diminta. Dan biarlah hambaKu ini terus meminta, terus berdoa, terus menghiba. Aku menyukai doa-doanya. Aku menyukai kata-kata dan tangis isaknya. Aku menyukai khusyu’ dan tunduknya. Aku menyukai puja dan puji yang dilantunkannya. Aku tak ingin dia menjauh dariKu setelah mendapat apa yang dia pinta. Aku mencintainya.”

“Oh ya?” matanya berbinar. “Betul demikiankah yang terjadi padaku?”

“Hm… Pastinya aku tak tahu,” jawab saya sambil tersenyum. Dia agak terkejut. 

Segera saya sambung sambil menepuk pundaknya, 

“Aku hanya ingin kau berbaik sangka.”

Dan dia tersenyum. Alhamdulillah.

***

Dalam ukhuwah, baik sangka sepertinya adalah satu-satunya pilihan. Agar kita menyempurnakan akar pohon iman. Agar kita mampu menjumbaikan buah yang manis, harum, lembut. Agar kita memiliki batu bata yang cukup, untuk mendirikan menara cahaya, kelak di surgaNya. Dalam dekapan ukhuwah.

---

(Diadaptasi dari buku karya Salim A Fillah, ‘Dalam Dekapan Ukhuwah’)

Maafkan aku, cinta.

Cinta,

telah lama kita dipisahkan, melalui jarak, melalui waktu..

tak kutemui lagi senyum manismu, tak kujumpai lagi gelak candamu..

Aku yang pendiam, dan sosokmu yang periang..


Cinta,

kata terakhirmu yang terlontar adalah "Jaga dirimu baik-baik"

Aku menjaga diriku, walau dihatiku masih terbesit keinginan untuk mengetahui kabarmu..

Siapa yang tidak pernah jatuh cinta ?

Cinta,

Saat itu aku bingung..

Mengapa kamu yang aku pilih..

Aku tertawa sekarang, mungkin sebuah kesalahan dimasa lalu ketika kubiarkan jiwamu mengetuk pintu hatiku..


Cinta..

Jiwamu menyapa hatiku,

Sungguh cuma sampai disitu..

Lalu Dia menyadarkanku, cinta,,, tentang dirimu dan juga kesalahanku..


Cinta, sungguh tak pernah aku sesali,

Kau sungguh baik, kau tidak pernah menuntut suatu hubungan, 

Kau hanya memberi cinta.. 

Tanpa pernah menuntut cinta dariku..

Mungkin itu yang membuatku luluh..


Baiklah cinta.. 

Saat itu mungkin kau tak tau aku juga kagum..

Terima kasih, Cinta, 

Atas pengorbananmu.. Atas sikap baikmu dan juga cinta yang kau hadirkan untukku..


Tapi, Cinta..

Sekarang sudah kutemukan cinta yang jauh lebih besar darimu..

Bahkan hatiku pun tak mampu menerima muatan cinta itu..

Aku terbuai dengan cinta-Nya..


Alunan kasih sayang-Nya telah menyemai molekul cinta yang dalam dhatiku..

Sungguh harus kutinggalkan engkau, cinta..

Karena hatiku hanya dapat mencintai satu cinta..



Selamat tinggal, cinta..

Aku telah memilih cinta-Nya..


^MencintaiMu Semampuku^


----------------------------------------------------
Rabbii,Aku tak sanggup mencintaiMu seperti Abu bakar,yang menyedekahkan seluruh hartanya dan hanya meninggalkan Engkau dan RasulMu bagi diri dan keluarga.

Atau layaknya Umar yang menyerahkan separo harta demi jihad.
Atau Utsman yang menyerahkan 1000 ekor kuda untuk mensyiarkan dienMu.

Izinkan aku mencintaiMu, melalui seratus-dua ratus perak yang terulur pada tangan-tangan kecil diperempatan jalan, pada wanita-wanita tua yang menadahkan tangan di pojok-pojok jembatan, Pada makanan-makanan sederhana yang terkirim ke handai taulan.

Ilaahi, aku tak sanggup mencintaiMu dengan khusyuknya shalat salah seorang shahabat NabiMu hingga tiada terasa anak panah musuh terhunjam di kakinya, Karena itu Ya Allah, perkenankanlah aku tertatih menggapai cintaMu, dalam shalat yang coba kudirikan terbata-bata, meski ingatan kadang melayang ke berbagai permasalahan dunia.

Robbii, aku tak dapat beribadah ala para sufi dan rahib, yang membaktikan seluruh malamnya untuk bercinta denganMu, 
Maka izinkanlah aku untuk mencintaimu dalam satu-dua rekaat lailku. Dalam satu dua sunnah nafilahMu. Dalam desah napas kepasrahan tidurku.

Yaa, Maha Rahmaan,
Aku tak sanggup mencintaiMu bagai para al hafidz dan hafidzah, yang menuntaskan kalamMu dalam satu putaran malam. Perkenankanlah aku mencintaiMu, melalui selembar dua lembar tilawah harianku.
Lewat lantunan seayat dua ayat hafalanku.

Yaa Rahiim, Aku tak sanggup mencintaiMu semisal Sumayyah, yang mempersembahkan jiwa demi tegaknya DienMu.
Seandai para syuhada, yang menjual dirinya dalam jihadnya bagiMu.
Maka perkenankanlah aku mencintaiMu dengan mempersembahkan sedikit bakti dan pengorbanan untuk dakwahMu.
Maka izinkanlah aku mencintaiMu dengan sedikit pengajaran bagi tumbuhnya generasi baru.

Allahu Kariim, aku tak sanggup mencintaiMu di atas segalanya, bagai Ibrahim yang rela tinggalkan putra dan zaujahnya, 
Maka izinkanlah aku mencintaiMu di dalam segalanya.
Izinkan aku mencintaiMu dengan mencintai keluargaku,
dengan mencintai sahabat-sahabatku, 
dengan mencintai manusia dan alamsemesta.
Allaahu Rahmaanurrahiim.

Ilaahi Rabbii,

Perkenankanlah aku mencintaiMu semampuku..

Agar cinta itu mengalun dalam jiwa. 
Agar cinta ini mengalir di sepanjang nadiku..


Aamiin..

(Diedit dari Kata Mutiara Islam)