
“zrrrtrtrtrtr”,
hapeku
bergetar.Kulihat ada sebuah pesan masuk dari seorang mbak yang kukenal di salah
satu organisasi kampusku.
“Wahai jiwa yang resah karena
kemacetan, bangkit teriakan suaramu, kita sama-sama teriakan aspirasi rakyat
sumsel, yang dari Palembang kumpul di depan gedung DPRD.. bla..bla..bla..”
Hmm..
“Ternyata ajakan untuk aksi.” Gumam batinku.
Belum satu menit sms
itu masuk ke hapeku, namun lamunanku sudah melayang jauh. Bagaimana kalo panas,
terus nanti mukaku jerawatan kena debu, terus kalo pak polisi nya marah gimana,
dan masih banyak hal-hal tidak penting lainnya yang berdesakan menunggu giliran
untuk kupikirkan.
“Nia, kamu ikut aksi
kan?”, kakakku bertanya dari dalam kamarnya.
“Entahlah, aku mau tes
toefl.”
“Cuma sebentar kok, cuma
orasi di depan Gedung DPRD, terus langsung balik.”
“Bukannya kalo aksi itu
ada jalan-jalannya, capeek.”
“Hmm, jadi akhwat tuh
jangan manja.”
Telingaku saat itu
langsung alergi dengan kata “Manja”. Karena dari dahuluuu sekali, aku sudah
akrab dengan sebutan si manja. Ya, Aku anak bungsu.
“Oke. Liat nanti ya, kalo
aku niat kesana, aku ikut.”.
Sebenarnya jawaban ini jawaban menolak dengan cara
halus, tapi kakakku kala itu menerima dengan senang jawabanku ini, karena
mengandung sebuah harapan aku akan pergi kesana.
Agak berat kulangkahkan
kakiku kesana. Aku takut. Karena baru kali ini aku ikut sebuah kegiatan bernama
aksi.
Aku mengendarai sepeda
motorku bersama kakakku yang kubonceng di belakang.
Sesampainya disana, aku
melihat banyak teman-temanku yang kukenal di organisasi kampusku. Sebuah gerombolan
mahasiswa yang lumayan ramai berkumpul di depan gedung DPRD. Teman-temanku itu tersenyum.
Lalu mereka memberikan aku sebuah ikat kepala bertuliskan “GEMPUR” yang artinya
Gerakan Mahasiswa Peduli Rakyat. Lalu kuikatkan di kepalaku seraya memakai
almamater kesayanganku. Aku berbaris di bagian tengah, lalu kulihat kumpulan
wartawan itu mendekat kearah kami. Aku takut disorot,
“Pliiiss.. jangan menghadapkan kamera ke arahku.”
Ada tisu yang
menyelamatkanku. Sebaiknya memang wajahku ini ditutup, selain takut kena
matahari dan debu, aku juga takut wajahku ini terpampang di media, Apa kata
dunia?
Sesaat setelah itu,
Presma beserta wakilnya, Ketua DPMU, dan perwakilan dari kampus lain di sumsel
bergantian berorasi. Pada saat itu aku merasa mengerti mengapa kami (mahasiswa)
harus melakukan aksi seperti ini. karena kami tidak bisa tinggal diam. Karena akibat
dari kemacetan terjadi bukan hanya dialami oleh mahasiswa namun seluruh warga Sumsel.
Sudah saatnya memikirkan masalah-masalah bersama, jangan hanya terkungkung
dalam kepentingan pribadi.
Berhenti jadi akhwat
manja yang bisanya cuma “mendep” dirumah. Sekali-kali kita harus merasakan
bagaimana turun ke jalan, apa kita hanya ingin menjadi penonton atas kemenangan
teman-teman kita yang bergerak melakukan perubahan. Setidaknya itu yang dapat
kusimpulkan dari beberapa orasi orang-orang didepan itu.
Aku merasakan sebuah
perasaan aneh yang menyusup dalam dadaku. Seperti sebuah rasa bangga ketika
atas nama mahasiswa kami bisa menyuarakan keresahan yang selama ini kami alami.
Aku melihat sekelilingku begitu bersemangat, teriakan “Hidup Mahasiswa”
membahana di area gedung DPRD. Seakan-akan aku hanyut dalam suasana itu.
Ternyata sudah bukan
saatnya lagi jika ditanya,
“Mengapa ga ikut aksi
ukh?”
“Afwan ana ga boleh
ortu, ana takut kalo anarkis, bla bla bla..”
Aksi merupakan langkah konkret
awal kita menuju perubahan.
“Saya bahagia menjadi yang terpilih ikut aksi tadi, beneran ga boong. Ga
selalu yang namanya aksi selalu anarkis, buktinya tadi damai-damai aja.”(saya)
Dan momen indah setelah
itu adalah kebersamaan yang semakin rekat terbingkai.
:)
0 komentar:
Posting Komentar