^^

^^

^DALAM UKHUWAH KITA BERCINTA^

Karena beda antara kau dan aku sering jadi sengketa
karena kehormatan diri sering kita tinggikan diatas kebenaran
Karena satu kesalahanmu padaku seolah menghapus
Sejuta kebaikan yang lalu

Wasiat sang Nabi itu rasanya berat sekali:

“Jadilah hamba-hamba Allah yang bersaudara”…

***

Dalam ukhuwah, kita dituntut untuk menjadi pribadi yang mengasihi sesama, menebar benih kasih sayang persaudaraan, seperti kata Mu’awiyah Ibn Abi Sufyan,

“ Meski yang menghubungkanku dengan seseorang hanyalah selembar benang, akan kujaga.
Jika dia ulurkan, akan aku kencangkan,

Jika dia kencangkan, akan kukendurkan.”
Ya, begitulah ukhuwah, sebuah ikhtiar yang didasari dalam diri kita sendiri. Menginsyafi bahwa iman seharusnya berbanding lurus dengan kualitas hubungan yang kita jalin dengan sesama. 

Juga mengetahui bahwa setiap hubungan yang tidak didasari dengan iman akan jadi sia-sia. Dan baik iman maupun ukhuwah, memerlukan upaya untuk meneguhkan dan menyuburkannya.
Ukhuwah bukanlah sekedar persaudaraan atas ikatan darah, ia bahkan lebih dari itu. Persaudaraan yang berdiri diatas dasar aqidah, atas dasar iman, sebab kita mengambil cinta untuk memupuknya bukan dari bumi yang sesak dan sempit, tetapi racikan cintanya dari bentangan langit nan tak terbatas.

Lalu timbul pertanyaan, bagaimanakah caranya menghubungkan diri kita yang tertatih di bumi dengan langit yang begitu tinggi? 

Bagaimanakah menghubungkan jiwa kita yang lemah dengan kekuatan yang seolah tak terjangkau? 

Allah, penguasa langit dan bumi menjawabnya dalam sebuah hadits Qudsi.

“Tiadalah hambaKu, “ Begitu Dia berfirman, “Mendekatkan dirinya padaKu dengan sesuatu yang lebih Aku sukai, daripada saat dia jalani apa-apa yang Aku wajibkan untuknya. 
Dan hambaku itu tidak puas hanya dengan menjalankan yang wajib saja. Maka dia terus mendekat kepadaKu dengan hal-hal yang Aku sunnahkan, sampai Aku mencintainya.”

“Maka jika Aku telah mencintainya,” lanjutNya, “Aku akan menjadi pendengaran yang dia gunakan untuk menyimak. 
Aku akan menjadi penglihatan yang dia gunakan untuk menyaksikan. Aku akan menjadi tangan serta kakinya yang dia gunakan untuk bertindak dan bergerak. Jika dia memohon padaKu, Aku akan menjawab pintanya. Jika dia minta perlindungan, maka Aku pasti melindunginya.”

Benar, dalam ukhuwah, alangkah rindunya kita mencintai saudara-saudara kita dengan cinta Allah. 

Alangkah inginnya kita memperlakukan mereka dengan perlakuan Allah, 
Alangkah harapnya kita bisa bergaul pada mereka dengan tatapan rahmat-Nya. 
Kita ingin mendengar mereka dengan telinga istijabahNya. 
Kita ingin menggandeng mereka dengan tangan hidayahNya. 
Kita ingin menjajari langkah mereka dengan tapak ridhaNya.

Disitulah mahabbah. Disitulah cinta langit yang kita peluk, lalu kita semaikan kembali di bumi.

Selain Rahmat dariNya, ada satu sikap yang wajib kita aplikasikan, sebuah sikap yang akan berbuah manis jika kita melakukannya dengan ikhlas, 
yaitu menghargai seseorang dengan berbaik sangka padanya.

Renungkan kisah dibawah ini, sebuah perwujudan baik sangka yang menggugah. Sebuah pemikiran terpuji yang dipilih oleh orang-orang yang berhati bersih nan suci.

***

Seorang kawan bertanya dengan nada mengeluh.

“Dimana keadilan Allah?”, ujarnya. “Telah lama aku memohon dan meminta padaNya satu hal saja. Kuiringi semua itu dengan segala ketaatan padaNya. Kujauhi segala laranganNya. Kutegakkan yang wajib. Kutekuni yang sunnah. Kutebarkan shadaqah. Aku berdiri di waktu malam. Aku bersujud di kala Dhuha. Aku baca kalamNya. Aku upayakan sepenuh kemampuan mengikut jejak RasulNya. Tapi hingga kini Allah belum mewujudkan harapanku itu. Sama sekali.”

Saya menatapnya iba. Lalu tertunduk sedih.

“Padahal, lanjutnya sambil kini berkaca-kaca, “Ada teman lain yang aku tahu ibadahnya berantakan. Wajibnya tak utuh. Sunnahnya tak tersentuh. Akhlaknya kacau. Otaknya kotor. Bicaranya bocor. Tapi begitu dia berkata bahwa dia menginginkan sesuatu, hari berikutnya segalanya telah tersaji. Semua yang dia minta didapatkannya. Dimana keadilan Allah?”

Rasanya saya punya banyak kata-kata untuk menghakiminya. Saya bisa saja mengatakan, “Kamu sombong. Kamu bangga diri dengan ibadahmu. Kamu menganggap hina orang lain. Kamu tertipu oleh kebaikanmu sebagaimana Iblis telah terlena! Jangan heran kalau doamu tidak diijabah. Kesombonganmu telah menghapus segala kebaikan. Nilai dirimu hanya anai-anai beterbangan. Mungkin kawan yang kau rendahkan jauh lebih tinggi kedudukannya disisi Allah karena dia merahasiakan amal shalihnya!”

Saya bisa mengatakan itu semua. Atau banyak kalimat kebenaran lainnya.

Tapi saya sadar. Ini ujian dalam ukhuwah. Maka saya memilih sudut pandang lain yang saya harap lebih bermakna baginya daripada sekedar terinsyafkan tapi sekaligus terluka. Saya khawatir, luka akan bertahan jauh lebih lama daripada kesadarannya.

Maka saya katakana padanya, “Pernahkah kau didatangi oleh pengamen?”

“Maksudmu?”

“Ya, Pengamen,” lanjut saya seiring senyum. “Pernah?”

“Iya. Pernah.” Wajahnya serius. Matanya menatap saya lekat-lekat.

“Bayangkan jika pengamennya adalah seorang yang berpenampilan seram, bertato, bertindik, dan wajahnya garang mengerikan. Nyanyiannya lebih mirip teriakan memekakkan telinga. Suaranya kacau, balau, sengau, parau, sumbang, dan cemprang. Lagunya malah menyakitkan ulu hati, sama sekali tak dapat dinikmati. Apa yang akan kau lakukan?”

“Segera kuberi uang,” jawabnya, “Agar segera berhenti menyanyi dan cepat-cepat pergi.”

“Lalu bagaimana jika pengamen itu bersuara emas, mirip sempurna dengan Ebiet G Ade. Ade atau Sam Bimbo yang kau suka, menyanyi dengan sopan dan penampilannya rapi lagi wangi, apa yang kau lakukan?”

“Kudengarkan, kunikmati hingga akhir lagu,” dia menjawab sambil memejamkan mata, mungkin membayangkan kemerduan yang dicanduinya itu. “lalu kuminta dia menyanyikan lagu yang lain lagi. Tambah lagi. Dan lagi.”

Saya tertawa. Dia tertawa.

“Kau mengerti kan?” Tanya saya. “Bisa saja Allah juga berlaku begitu pada kita, para hambaNya. Jika ada manusia yang fasik, keji, munkar, banyak dosa, dan dibenciNya berdoa memohon padaNya, mungkin akan Dia firmankan pada Malaikat: “Cepat berikan apa yang dia minta. Aku muak mendengar ocehannya. Aku benci menyimak suaranya. Aku risi mendengar pintanya.”

“Tapi,” saya melanjutkan sambil memastikan dia mencerna setiap kata, “Bila yang menadahkan tangan adalah hamba yang dicintaiNya, yang giat beribadah, yang rajin bersedekah, yang menyempurnakan wajib dan menegakkan sunnah; 
maka mungkin saja Allah akan berfirman pada malaikatNya: 
“Tunggu! Tunda dulu apa yang menjadi hajatnya. Sungguh Aku bahagia bila diminta. Dan biarlah hambaKu ini terus meminta, terus berdoa, terus menghiba. Aku menyukai doa-doanya. Aku menyukai kata-kata dan tangis isaknya. Aku menyukai khusyu’ dan tunduknya. Aku menyukai puja dan puji yang dilantunkannya. Aku tak ingin dia menjauh dariKu setelah mendapat apa yang dia pinta. Aku mencintainya.”

“Oh ya?” matanya berbinar. “Betul demikiankah yang terjadi padaku?”

“Hm… Pastinya aku tak tahu,” jawab saya sambil tersenyum. Dia agak terkejut. 

Segera saya sambung sambil menepuk pundaknya, 

“Aku hanya ingin kau berbaik sangka.”

Dan dia tersenyum. Alhamdulillah.

***

Dalam ukhuwah, baik sangka sepertinya adalah satu-satunya pilihan. Agar kita menyempurnakan akar pohon iman. Agar kita mampu menjumbaikan buah yang manis, harum, lembut. Agar kita memiliki batu bata yang cukup, untuk mendirikan menara cahaya, kelak di surgaNya. Dalam dekapan ukhuwah.

---

(Diadaptasi dari buku karya Salim A Fillah, ‘Dalam Dekapan Ukhuwah’)

0 komentar:

Posting Komentar